Vanilla

image

Palembang, 22 Desember 2013

Pulau Kemaro, tempat pertama yang kita kunjungi bersama. Tak banyak percakapan di antara kita. Ya, selayaknya orang yang baru berjumpa.

Bahkan, saat awal-awal berada di objek wisata, aku tak tahu kamu di mana. Kamu yang begitu asyik dengan kamera.

Sebelum pulang, di dermaga. Wafer Tango rasa vanilla menjadi pembuka kata di antara kita. Kamu berdiri tepat di depan kedua bola mata. Tanganmu setia menggenggam kamera. Dan kita saling menatap melalui lensa.

Palembang (Part 2)

Hari pertama di Palembang diawali dengan terbangun pukul 02:00 dini hari. Suasana di penginapan sudah sangat sepi, tidak terdengar tanda-tanda kehidupan. Sejenak memandangi sekeliling ruangan (bersyukur tidak melihat yang aneh-aneh,, hehe :p), gue bersembunyi di balik selimut agar kembali tertidur. Pagi hari pukul 07:30 gue dan sahabat gue, Kak Muzta sudah rapih, tinggal sarapan.

Awalnya kami berniat untuk berkeliling di area Kambang Iwak Park, tetapi karena crowded banget, jadi kami memutuskan untuk sarapan di Kentucky Friend Chicken (KFC). Kebetulan KFC terletak persis di samping penginapan kami. Sepaket pancake dan teh manis hangat, sarapan gue pagi itu. Sementara Kak Muzta memesan sepaket wafle dan teh manis hangat. Selesai sarapan, teman gue, Ebi mengabari kalau gue bakal dijemput pukul 10:00. Karena masih lama, kami memutuskan kembali ke penginapan. Sesampainya di penginapan gue melanjutkan tidur, haha 😀

Pukul 10 lewat sedikit gue dijemput dan perjalanan dimulai. Oya, gue juga dapet teman baru namanya Nepy. Dia sahabat dekatnya Ebi. Tujuan pertama kami yaitu Taman Punti Kayu. Biaya masuk area ini sebesar Rp 7.000 per orang, sedangkan untuk memasuki area taman satwanya sebesar Rp 5.000 per orang. Sudah sangat lama gak pergi ke kebun binatang, terakhir sekitar tahun 2008 ke Taman Safari bersama keluarga, itu pun cuma selewatan aja.

Binatang yang ada di Taman Satwa Punti Kayu ini hanya sedikit, di antaranya golongan primata (siamang, beruk), bangsa burung (burung merpati, burung elang, burung kakak tua jambul kuning, bebek, entok), bangsa reptil (buaya muara, biawak, ular), hewan pengerat (kelinci, hamster. Hmm bener gak ya ini tergolong ke hewan pengerat,, hehe :p), dan beruang madu (mamalia kan ya? Hehe ). Melihat hewan-hewan tersebut hidup dalam kotak terbatas berjeruji besi kok gue ngerasa kasihan ya. Apalagi, (menurut gue) tempat tinggalnya kurang layak. Hmmm -,-“

Taman Punti Kayu juga menyediakan arena untuk outbond dan ada juga danau yang dilengkapi dengan bebek-bebekan. Kawasannya masih hijau, banyak pepohonan, dan tentunya kami bisa menghirup udara yang bersih dan menyehatkan (insyaallah,, hehe). Di area ini juga terdapat banyak warung yang berjualan makanan. Penjualnya sangat aktif menawarkan barang dagangannya. Tiap ada orang yang lewat pasti ditawari untuk mampir dan disebutkan menu yang ia jual. Bukan hanya diam termangu menanti datangnya pembeli, tapi mereka menjemputnya. Keren! 🙂

Beruntung sekali, Nepy ternyata telah menyiapkan bekal makan siang untuk kami. Masyaallah baik banget nget nget kan temen baru gue ini. Sempet-sempetnya coba dia memasak untuk kami. Dahsyat! Istri idaman banget nih,, hehe :p #LirikEbi (peace bi :p). Selanjutnya kami menuju Palembang Square untuk berburu action figure Conan Edogawa, haha :D. Sampai di satu toko pernak-pernik, ada 4 koleksi action figure conan. Harganya Rp 40.000 per buah. Hmm tergolong mahal karena gue biasanya beli kurang dari itu. Oya, penjualnya teh mani jutek pisan. Masa gak ada senyumnya sama sekali, atau lagi sariawan kali ya mbaknya. Atuh ya harusnya mah ada pembeli disapa ramah, ini mah didiemin aja. Krik krik krik! Tapi karena gue terlanjur jatuh hati sama salah satu gaya Conan Edogawa yang lagi nunjuk itu loh sambil ngomong, “There is only one truth!”, yaudah deh gue beli satu. Belum puas cuma dapet satu doank mah, kami melanjutkan pencarian ke toko lain. Nah, ketemu lah toko yang lebih besar dari toko sebelumnya dan koleksinya lebih lengkap. Mbak-mbak penjualnya juga ramah, hehe :p. Wuaaaa di sini koleksinya banyak, tapi gue harus membelinya sepaket, gak boleh dipisah. Sepaket terdiri dari 5 buah action figure berbagai gaya. Gue beli yang ukuran sedang (h=10cm) yang ada Kaitou Kid-nya seharga Rp 140.000. Eh ternyata ada juga yang ukurannya lebih kecil (h=7cm) dan karakternya lebih lengkap, ada Ran Mouri, Ai Haibara, dan penjahat (orang gundul serba hitam, penjahat yang belum ketahuan identitasnya itu loh kalau masih dalam penyelidikan). Paket yang ini harganya lebih murah, Rp 125.000. Ada juga sebenarnya si Kaitou Kid yang ukurannya lebih besar (h=15cm), tapi harganya juga lebih mahal, Rp 110.000 per buah. Gue tanya ada yang Shinichi atau Conan gak, ternyata gak ada. Ada untungnya juga gak ada, kalau ada bisa kalap gue. Hehe :p Yei yei yei yei seneng banget deh bisa dapet Conan banyak (meskipun gue harus mengurangi satu jatah buku yang mau dibeli,, hehe :p). Dan mereka (Kak Muzta, Ebi, Nepy) cuma bisa geleng-geleng kepala ngeliat gue yang sangat berbahagia. “Untung gue gak menyukai benda-benda seperti itu”, ujar salah satu dari mereka. Wkwkwkwk 😀

Tujuan selanjutnya yaitu Pulau Kemaro. Sebelum menuju Pulau Kemaro, kami menjemput satu lagi sahabatnya Ebi, yaitu Rey (ayeyyy dapet teman baru lagi :)). Untuk sampai di Pulau Kemaro, kami harus menaiki perahu yang darmaganya terletak di area bawah jembatan ampera. Di sisi Sungai Musi ada pelataran sebagai tempat untuk berjualan makanan kecil dan deretan perahu yang siap untuk mengantar menikmati Sungai Musi termasuk ke Puloau Kemaro. Atau juga hanya untuk sekedar duduk santai menikmati jempatan ampera. Kami memesan perahu dengan harga Rp 110.000. Waktu yang diperlukan untuk sampai di Pulau Kemaro sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Musi menuju Pulau Kemaro disuguhi berbagai pemandangan yang cukup menarik. Awalnya gue agak ngeri untuk menaiki perahu karena tidak dilengkapi dengan safety equipment. Pelampung yang tersedia hanya dua buah, sementara kami berenam, bahkan bertujuh dengan pengemudi perahunya. Kalau terjadi kecelakaan dalam perjalanan gimana coba. Tapi bismillah aja deh, apapun yang akan terjadi pasti rencana terbaik-Nya. Hehe :p

Sejak awal gue berpikir air Sungai Musi itu jernih, tapi ternyata cokelat,, haha :D. Kenapa pula gue berpikir airnya jernih. “Lue pikir air laut!”, celetuk salah satu teman gue. Wkwkwk 😀 Tidak banyak sampah yang berceceran di Sungai Musi. Salah satu hal yang membuat gue kaget yaitu, tiba-tiba sebuah perahu melaju dengan kecepatan tinggi di mana perahu tersebut memuat banyak sekali barang dan orang. Bahkan ada sepeda motor yang dinaikkan di atas atap perahu tersebut. Gila!!!

Sisi sebelah kanan saat menuju Pulau Kemaro mayoritas terdiri dari pemukiman warga. Sementara di sebelah kiri banyak terdapat kapal-kapal besar untuk kepentingan industri, di antaranya ada batu bara dan PT. Pupuk Sriwidjaja (Pusri). (Btw, pengolahan limbah cair di PT. Pusri kayak apa ya? Apakah ada “setetes” yang lolos ke aliran Sungai Musi? Hehe :p). Rumah-rumah di tepi Sungai Musi berbentuk panggung dan terbuat dari kayu. Hmm kalau gue kayaknya ngeri tinggal di rumah seperti itu. Bayangin lue tidur di rumah yang di bawah rumahnya ada air. Hiiiii! Oya, sanitasi di pemukimannya seperti apa ya? Hmm #berpikir. Ahh sudahlah kembali saja ke Pulau Kemaro, hehe :p. Kami sampai di Pulau Kemaro pukul berapa ya (lupa), mungkin sekitar pukul 15:00. Bangunan di Pulau Kemaro di dominasi warna merah. Terdapat beberapa bangunan di Pulau Kemaro yaitu Pagoda, Makam (entah itu makam siapa, haha :D), Patung Budha, dan ada juga pohon yang dipagari yang katanya itu Pohon Cinta #eaa <3. Dinamakan Pulau Kemaro katanya karena Pulau ini tidak pernah terendam meskipun air Sungai Musi pasang. Adapula legenda tentang Pulau Kemaro yang menceritakan kisah cinta antara Putri Raja, Siti Fatimah dengan saudagar kaya Tionghoa, Tan Bun An.
Pagoda ini hanya digunakan untuk berdoa, jadi kami para wisatawan (ceuilehh :P) tidak diperkenankan untuk memasukinya. Cukup memandanginya saja,, ahhahaha :D. Mengenai pohon cinta, gue gak ngerti kenapa itu pohon dinamakan pohon cinta. Hal unik dari pohon ini memang cabangnya yang sangat banyak. Lalu, apa korelasinya antara cabang yang banyak dengan cinta??? Wkwkwk 😀

Mengenai areanya sendiri menurut gue kurang terawat. Rerumputan yang tumbuh tinggi, toilet yang (sepertinya) tidak terurus juga. Di lihat dari kejauhan saja toiletnya udah ngeri,, hehe :p. Pedagang yang berjualan juga relatif sedikit dan hanya menjual snack dan minuman. Makanan berat yang tersedia hanya mie instant seduh. Coba kalau lebih diperhatikan, mungkin akan terlihat lebih menarik dan tentunya meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Emm tapi gak ada tarif masuknya juga sih,, hehe :p

Setelah puas menikmati Pulau Kemaro, sekitar pukul 16:00 kami kembali ke Ampera. Sepanjang perjalanan pulang, lebih banyak hening di antara kami. Gue asyik menikmati wafer (gue laper beneran,, haha :D) sambil memandangi kawasan sekitar Sungai Musi, mengikuti irama lenggokan perahu yang melawan aliran Sungai Musi, dan menikmati terpaan angin sore itu.

Kami sholat di Masjid Agung yang lokasinya tidak jauh dari Jembatan Ampera. Di depan Masjid Agung sebenarnya terdapat air mancur tetapi saat itu sedang dalam proses renovasi. Ahha, belum afdol kalau ke Palembang belum makan pempek. Pempek Vico menjadi tujuan kami. Kami memesan pempek kecil campur (lenjer, telor, adaan, kulit), tekwan, model, dan es kacang merah. Pempeknya enak, ikannya berasa dan teksturnya lembut. Dan cukonya itu loh pedesss pisan. Gue kaget pas ngeliat Ebi minum cuko langsung dari cawan kecil. Hahhh biii?? “Memang seperti inilah cara makan pempek yang benar”, begitu katanya. Tekwannya juga seger, apalagi di makan saat cuaca dingin. Akan sangat menghangatkan,, hehe :p. Hidangan penutupnya es kacang merah. Kacang merahnya empuk banget nget nget. Rasanya juga enak cuma kok menurut gue gak beda jauh sama rasa es doger ya,, haha :D. Gue berpikir bagaimana cara menghasilkan kacang merah seempuk ini tetapi bentuknya masih utuh? #PR 😀

Perut kenyang, hati senang, langsung capcus ke Sungai Musi lagi untuk menikmati Jembatan Ampera di malam hari. Aishhh cantiknyaaaa! Gue, lagi dan lagi selalu terpesona saat melihat gemerlap cahaya di malam hari. Glowing in the dark  Alhamdulillah akhirnya kesampaian juga menikmati Jembatan Ampera di malam hari. Setelah cukup lama memandanginya dan berhubung sudah malam (sekitar pukul 21:00) kami pun pulang ke penginapan.

“You only need the light when its burning low. Find the crack!”